Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja dapat berdampak pada produktivitas kerja dan hilangnya rasa aman dan kenyamanan dalam bekerja. Ingin tau lebih banyak mengenai kekerasan seksual di tempat kerja? Berikut informasinya selengkapnya.

Payung hukum tindak pidana kekerasan seksual telah ditetapkan melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Terdorong oleh kebijakan ini, sejumlah pihak turut memberi perhatian pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di berbagai bidang. Pada dunia kerja, Menteri Ketenagakerjaan RI turut menerbitkan Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Di peraturan tersebut, Menteri Ketenagakerjaan menegaskan kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual masih terjadi di lingkungan kerja.

 

 

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KEKERASAN SEKSUAL?

Dalam UU TPKS, berbagai bentuk kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Selain itu, tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi perkosaan, perbuatan cabul, kekerasan seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang tak disetujui korban, pornografi anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam rumah tangga, pencucian uang yang berasal dari kekerasan seksual, dan tindak pidana lain yang dianggap kekerasan seksual sesuai aturan.

Selaras dengan UU TPKS, Menteri Tenaga Kerja RI telah menerbitkan Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang menegaskan berbagai bentuk kekerasan seksual seperti tersebut di atas, dan menyebut yang paling sering terjadi di tempat kerja adalah pelecehan seksual.

Oleh sebab itu, jauh sebelum muncul UU TPKS dan Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023, terbit sebuah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Namun, pemberlakuannya dirasa kurang efektif diduga oleh karena bentuknya melalui surat edaran yang berisi himbauan saja. Meski perlu diakui, pedoman ini telah mengajak buruh/serikat buruh dan pengusaha memberi perhatian pada berbagai tindakan pelecehan seksual di tempat kerja yang banyak terjadi namun tidak terungkap.

 

APA SAJA BENTUK PELECEHAN SEKSUAL YANG PALING SERING TERJADI DI TEMPAT KERJA? 

Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja yang terbit pada 29 Mei 2023, menyebut tiga bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi di tempat kerja,  yaitu:

  1. Pelecehan Seksual nonfisik yang di dalamnya termasuk pelecehan verbal/lisan, pelecehan isyarat/visual, dan pelecehan psikologis/emosional.
  2. Pelecehan Seksual fisik termasuk mencium, menepuk, mencubit, dan menempelkan tubuh penuh nafsu.
  3. Kekerasan Seksual berbasis elektronik dilakukan oleh pelaku yang tanpa hak:
  1. Melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar
  2. Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual
  3. Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi//dokumen elektronik untuk tujuan seksual

 

BAGAIMANA CARA MENGETAHUI SEBUAH TINDAKAN SEBAGAI TINDAK PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA?  

Sebuah tindakan pelecehan seksual di tempat kerja dapat dikenali oleh hal-hal berikut:

  1. Tindakan yang tidak diinginkan atau tidak dapat diterima oleh korban yang berdampak atau berakibat menimbulkan ketersinggungan, malu, dan/atau takut. Oleh karenanya dalam setiap tindakan kekerasan seksual, utamanya korban-lah yang ditanya pendapatnya.
  2. Perbuatan tersebut mempunyai efek untuk menciptakan sebuah lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan, atau menyinggung perasaan. Penilaian lingkungan sekitar semacam ini juga penting, mengingat korban pelecehan seksual seringkali takut, malu, dan bingung.
  3. Memanfaatkan relasi kuasa pelaku atas korban untuk mempengaruhi proses hubungan kerja atau kondisi kerja, misalnya meminta imbalan seksual untuk kenaikan jabatan yang diberikan.

 

SIAPA SAJA YANG BISA MENJADI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL? 

Kekerasan seksual dapat terjadi pada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun harus menjadi perhatian bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender  atau kekerasan yang ditujukan pada orang-orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau gender tertentu secara tidak proporsional.  Dimana dalam konstruksi gender di masyarakat kita, ada relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan (faktanya) Kekerasan Berbasis Gender khususnya pelecehan seksual lebih banyak terjadi kepada perempuan daripada laki-laki. 

 

Berlatar belakang relasi kuasa yang tidak setara tersebut, kekerasan seksual rentan pula terjadi kepada pekerja biasa/jabatan bawah yang dilakukan oleh atasan/jabatan yang lebih tinggi (hubungan vertikal) atau terjadi kepada pekerja magang/kontrak/outsourcing yang dilakukan oleh pemberi kerja, perusahaan penyalur, perusahaan penyedia jasa, dsb.

 

APA SAJA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA?

Sejumlah peraturan mengenai kekerasan seksual terdiri dari:

  1. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003)a. Pasal 86 ayat (1) huruf b dan c Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
    b. Pasal 76 ayat (3) huruf b
    Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
  2. Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
    Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja/buruh perempuan dengan : a. menyediakan petugas keamanan di tempat kerja; b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.
  3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Sayangnya pedoman ini tidak bersifat mengikat, hanya panduan atau sebagai acuan bagi pengusaha, pekerja maupun instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan untuk mencegah dan menangani secara efektif pelecehan seksual.
  4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja  Perempuan (RP3) di Tempat Kerja
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya pada pasal 281 tentang kesusilaan di muka umum dan pasal 289 - 294 tentang perbuatan cabul. Mengenai perbuatan cabul di tempat kerja, terutama yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan (dalam struktur kerja), pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP mengatur pemberatan pidana yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
  6. Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
  7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Setelah disahkan, implementasi UU TPKS belum bisa optimal bila peraturan turunannya masih nihil. Peraturan ini membuat mandat untuk mengesahkan sepuluh peraturan pelaksana, yaitu lima peraturan pelaksana dan lima peraturan presiden. Namun, pemerintah pada kelanjutannya sepakat untuk menyederhanakan peraturan pelaksana UU TPKS menjadi tiga PP dan empat Perpres, yakni:

1. RPP tentang Dana Bantuan Korban TPKS di bawah Kemenkumham

2. RPP tentang Pencegahan Tindak Pidanan Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS di bawah KemenPPA

3.RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS di bawah KemenPPPA

4. Rperpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat di bawah KemenPPA

5. RPerpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat di bawah Kemenkumham

6. RPerpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak di bawah UPTD dan PPA

7. RPerpres tentang Kebijakan Nasional Pemberentasan TPKS di bawah KemenPPA

Kabar terbaru dari KemenPPA menyebutkan pembahasan peraturan pelaksana UU TPKS telah rampung di tingkat panitia antar-kementerian pada 18 Juli 2023 lalu. Proses selanjutnya adalah proses harmonisasi. 

8. Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.

9. Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

 

JIKA SAYA MENJADI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL, APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN?

Jika menjadi korban kekerasan seksual di tempat kerja, disarankan Anda mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Sebaiknya Anda menjelaskan kepada pelaku pelecehan seksual bahwa Anda tidak menginginkan perbuatan seksual tersebut atau perbuatan seksual tersebut mengganggu Anda. Jika tidak, Anda tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun oleh karena tindakan sudah terjadi.
  2. Beritahukan kejadian pelecehan seksual yang Anda alami kepada rekan kerja atau anggota keluarga yang dapat Anda percayai. Hal ini penting agar Anda memiliki saksi yang meski tidak melihat secara langsung, namun mendengar dari Anda sesaat setelah kejadian berlangsung. 
  3. Melaporkan tindakan pelecehan seksual yang Anda alami kepada pimpinan Serikat Pekerja, atasan langsung, atau kepada bagian personalia. Saat lapor, Anda akan ditanya apa yang Anda harapkan. Saran kami Anda minta waktu untuk menenangkan diri, atau minta berbicara dengan konselor/psikolog untuk menghilangkan trauma dan memikirkan langkah ke depan. Sementara itu laporan yang sudah masuk penting untuk ditindaklanjuti oleh Serikat Pekerja, atasan langsung, atau bagian personalia untuk melakukan penelusuran korban lain maupun meminta klarifikasi dari pelaku. Pastikan pihak yang membantu Anda tersebut selalu menginformasikan langkah yang dilakukan dan hasilnya kepada Anda.  
  4. Jika Anda sudah yakin pada pilihan yang akan Anda ambil, Anda dapat meminta dampingan dari Serikat Pekerja, atasan langsung, atau bagian personalia untuk menempuh langkah selanjutnya. 
  5. Jika yang akan Anda pilih adalah langkah hukum melapor kepada Kepolisian, sebaiknya Anda berkonsultasi kepada Lembaga Bantuan Hukum atau advokat yang dapat mendampingi saat proses hukum berlangsung. Pada saat melapor, pihak-pihak yang menerima laporan Anda seperti  Serikat Pekerja, atasan langsung, atau bagian personalia sebaiknya didorong untuk menjadi pelapor, sementara Anda adalah saksi korban. 
  6. Sebagai korban, Anda akan dipanggil untuk memberi kesaksian dan diminta untuk melengkapi bukti terjadinya kekerasan seksual. Pembuktian dalam kasus pelecehan seksual misalnya (pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana):

    1. Keterangan saksi korban yakni Anda sendiri

    2. Keterangan saksi dari orang/pihak yang melihat secara langsung kejadian atau pihak yang mendengar dari Anda sesaat setelah kejadian berlangsung, atau korban lain yang juga mengalami hal yang sama dengan Anda.

    3. Hasil pemeriksaan psikologi yang dapat menjadi bukti tertulis, sementara psikolog yang melakukan pemeriksaan merupakan tambahan saksi untuk mendukung Anda. 

    4. Pengakuan pelaku yang mungkin saja didapat ketika Serikat Pekerja, atasan langsung, atau bagian personalia meminta klarifikasi dari pelaku. 

    5. Bukti lain-lain, seperti: surat, percakapan melalui handphone, email, media sosial, rekaman suara, video, dsb.  

  7. Sebagai pihak pelapor/korban, Anda memiliki hak untuk menerima informasi berlangsungnya proses hukum melalui dokumen Laporan Polisi dan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan/Penyelidikan (SP2HP). Informasi yang sama juga harus diberikan oleh Kejaksaan dan Pengadilan, dalam hal proses hukum berlangsung hingga Pengadilan. 

 

APA SAJA HAK DAN PERLINDUNGAN YANG DIBERIKAN KEPADA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL?

Seorang korban kekerasan seksual memiliki hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Hak korban atas penanganan terdiri dari:

  1. Hak informasi seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan
  2. Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan
  3. Hak layanan hukum
  4. Hak penguatan psikologis
  5. Hak pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis)
  6. Hak pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis
  7. Hak penghapusan konten bermuatan seksual (kasus kekerasan seksual di media elektronik)

Hak korban atas perlindungan terdiri dari:

  1. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan
  2. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan
  3. Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku serta berulangnya kekerasan
  4. Perlindungan identitas
  5. Perlindungan dari perilaku merendahkan aparat hukum
  6. Perlindungan dari kerugian pekerjaan, pendidikan, atau akses politik
  7. Perlindungan tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang dilaporkan

 

Hak korban atas pemulihan terdiri dari:

  1. Rehabilitasi medis
  2. Rehabilitasi mental dan sosial
  3. Pemberdayaan sosial
  4. Restitusi dan/atau kompensasi
  5. Reintegrasi sosial

Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan meliputi:

  1. Penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik
  2. Penguatan psikologis
  3. Pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan
  4. Pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban
  5. Pendampingan hukum
  6. Pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas
  7. Penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman
  8. Penyediaan bimbingan rohani dan spiritual
  9. Penyediaan fasilitas pendidikan
  10. Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan korban
  11. Hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai menjalani hukuman
  12. Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik

Pemulihan setelah proses peralihan meliputi:

  1. Pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan
  2. Penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban
  3. Pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi
  4. Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain
  5. Penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya
  6. Pemberdayaan ekonomi
  7. Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat

 

BAGAIMANA CARA PERUSAHAAN MELAKUKAN PENCEGAHAN TERHADAP KASUS KEKERASAN SEKSUAL YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA? 

Pencegahan merupakan  alat paling efektif yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk menangani kekerasan seksual di tempat kerja. Tindakan pencegahan termasuk:

  1. Komunikasi: dilakukan dengan sosialisasi tentang pelecehan seksual menggunakan alat komunikasi yang biasa digunakan di dalam perusahaan misalnya papan pengumuman, poster, buletin perusahaan, buletin serikat pekerja, group komunikasi, dsb.
  2. Edukasi: dilakukan melalui  program orientasi dan pengenalan kepada staff baru, diskusi atau seminar yang diadakan perusahaan/serikat pekerja, atau kegiatan-kegiatan tertentu yang terprogram.
  3. Pelatihan: menyediakan pelatihan khusus mencegah, mengenali, dan menangani kasus pelecehan seksual di tempat kerja.
  4. Membentuk satuan tugas (satgas) atau tim penanggulangan pelecehan seksual di tempat kerja.
  5. Mendorong perusahaan untuk membangun komitmen pencegahan pelecehan seksual di lingkungan kerja termasuk prosedur pengaduan, penanganan, pemberian sanksi dan tindakan disiplin bagi pelaku, perlindungan dan pemulihan bagi korban, yang tercantum dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama.

 

BAGAIMANA PERAN SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA?

Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 menyebut peran penting dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di masing-masing tempat kerja yang dilakukan oleh Satuan Tugas atau Satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang dibentuk oleh perusahaan. 

Satgas dapat dibentuk sebagai bagian dari struktur LKS Bipartit, apabila perusahaan memiliki LKS Bipartit. Apabila perusahaan tidak memiliki LKS Bipartit, Satgas ini ditetapkan melalui keputusan pimpinan perusahaan. Anggotanya paling sedikit terdiri dari tiga orang yang berasal dari perwakilan pengusaha dan perwakilan pekerja atau serikat pekerja di perusahaan. Satgas ini memiliki sejumlah tugas, yakni:

  1. Menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan yang mengacu pada kebijakan perusahaan terkait upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja
  2. Menerima pengaduan kasus dari korban atau pihak pengadu
  3. Mencatat pengaduan secara tertib dan rapi
  4. Mengumpulkan informasi terkait indikasi terjadi kekerasan seksual di tempat kerja
  5. Memberikan pertimbangan kepada korban dan perusahaan mengenai penyelesaian dari pengaduan
  6. Memberikan pendampingan kepada korban

Akan tetapi, dengan sejumlah tugas berat tersebut, sayangnya Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 tidak secara detail mengatur kesiapan, kompetensi, dan rekam jejak anggota satgas. Sementara dalam upaya pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan seksual, diperlukan personil terpercaya, berperspektif HAM dan gender, dan memiliki sejumlah kompetensi untuk menciptakan layanan yang berpusat pada korban.



Sumber:

  1. Indonesia. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  3. Indonesia. Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  4. Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00
  5. Indonesia. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
  6. Indonesia. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja  Perempuan (RP3) di Tempat Kerja
  7. Internasional. Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja
  8. Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  9. Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
 
Loading...